![]() |
CIREMAI: Meski sempat diprotes warga, kini Kementerian ESDM RI berencana akan membangun pertambangan energi panas bumi (Geothermal) di Gunung Ciremai, Kuningan. Foto: Dok/ Radar Kuningan |
Sejauh ini dirinya
mengamati, masyarakat Kuningan cenderung sangat represif terhadap informasi
yang belum jelas. Apalagi hal itu bersifat provokatif dan pada akhirnya warga
Kuningan sendiri yang rugi. Dicontohkan, kasus bendung Kuningan di Cibeureum,
masyarakat sempat mengusir tim peneliti dan bahkan merusak peralatan theodolit
dan lainnnya.
“Karena diisukan
air bendung tersebut akan digunakan untuk masyarakat di Panaggapan Brebes.
Sekarang masyarakat sadar, bendung tersebut sedang proses pembuatan,” tutur
mantan kepala Dinas Lingkungan Hidup itu, Senin (19/9).
Kasus geothermal di
waktu lalu, lanjutnya, masyarakat bereaksi keras karena diisukan akan menjual
Gunung Ciremai. Kemudian, Chevron akan mengeruk harta orang Indonesia seperti
yang diperbuat Freport di bumi cendrawasih.
Yoyo menegaskan,
reformasi telah berlangsung hampir 18 tahun lalu, semestinya masyarakat sudah
mulai menyadari kepentingan daerah dan nasional. Sebab, di masa yang akan
datang tiga komponen hidup penting akan mangalami krisis yaitu BBM fosil, air
baku dan bahan pangan.
“Maka dalam
kesempatan ini, saya sebagai orang yang membidani lahirnya Kuningan sebagai
Kabupaten Konservasi, akan memberikan pemahaman yang benar tentang hal itu. Kabupaten
konservasi artinya menempatkan kawasan (areal tanah yang luas) sebagai mana
fungsinya,” terang Yoyo.
Misalnya di kawasan
Gunung Ciremai yang mencakup areal seluas 15.500 hektare, kata dia, adalah
kawasan lindung. Maka selama itu tidak boleh ada usaha produktif yang dapat
merusak fungsi kawasan tersebut.
“Ditambah kawasan
sekitar kaki Gunung Ciremai yang luasnya tidak kurang dari 65.000 hektare,
adalah kawasan menyangga di mana pemanfaatan merupakan kawasan terbatas. Selain
kawasan itu, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat,
dengan catatan harus tetap meminimalisir kerusakan dan dampak,” beber dia.
Menurut Yoyo,
potensi kekayaan Ciremai begitu besar. Ternyata di kawasan gunung ini tersimpan
kekuatan listrik dalam bentuk panas bumi sebesar 250 MGW atau empat kali lipat
listrik yang dihasilkan dari bendung Sutami di Purwakarta. Pertama kali survei
tempatnya di Pajambon, Setianegara dan satunya di daerah Mandirancan.
Kekayaan yang
sangat besar, imbuhnya, jika dikelola akan menyejahterakan masyarakat Kuningan.
Pemda dan masyarakat Kuningan, akan memperoleh royalti dari setiap watt yang
dijual oleh PLN. Dikatakan, industri ini sangat ramah lingkungan, seperti yang
dapat dilihat di Kamojang Garut. Lahan untuk eksploitasi tidak begitu luas.
Selain pembuatan sumur bor ada instalasi pengolah panas bumi menjadi tenaga
listrik, tidak ada limbah domestik maupun limbah kimia.
“Jika kita sepakat,
bahwa sumber kekayaan ini akan dieksploitasi, ada syarat yang cukup berat,
artinya masyarakat harus ikut mendukung. Karena untuk membangun geothermal
membutuhkan biaya besar, membuat lubang ke perut bumi sampai ke proses menjadi
energi listrik dan jaringan menyalurnya. Umur keekonomisan geothermal akan
panjang jika kawasan hutan di kawasan Gunung Ciremai dan kawasan penyangganya
bisa dilestarikan. Sekurang-kurangnya dibutuhkan 45.000 hektare hutan harus
tetap lestari (bukan menjual Gunung Ciremai) dan tetap sebagai fungsi hutan,”
paparnya.
Hutan lindung,
tambah Yoyo, akan meresapkan air ke perut bumi melalui akar yang terbentuk dan
menjulur ke perut bumi. Panas bumi dibentuk oleh panas di perut bumi, dan akan
memanaskan air yang diresapkan oleh tanaman kemudian menghasilkan uap
panas. Uap panas inilah yang akan digunakan untuk mengerakkan turbin pembangkit
listrik dan menghasilkan energi listrik yang tidak terhingga.
“Jadi, apabila
hutan negara (TNGC) dan hutan masyarakat di atasnya rusak dan air yang
diresapkan semakin berkurang, maka uap air juga berkurang dan tidak lagi mampu
menggerakan tumbun listrik dan habislah enegri listrik tersebut,” ungkapnya.
Pada awal proses,
ujar Yoyo, memang dibutuhkan air cukup banyak untuk pembuatan instalasi dan air
panas akan keluar ke pemukaan. Namun setelah stabil tidak akan ada rembesan
keluar. Dan apa yang ada sekarang tidak akan terpengaruh, terhadap kehidupan
masyarakat misalnya air panas dan sebagainya.
“Mungkin sebagai
salah satu hak kita warga Kuningan, adalah ikut memantau bentuk kerja sama
pengelolaan ini. Sekurang-kurangnya, bisa kita ingatkan jika sistem bagi
hasilnya kurang menguntungkan warga Kuningan,” kata pria yang tinggal di Desa
Cikaso Kecamatan Kramatmulya
itu. (ded)
Info: radarcirebon.com
Tidak ada komentar: