![]() |
Sejumlah warga saat menyeberangi Sungai Kalijaga usai berkunjung ke Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya,
Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, belum lama ini.*Alif/KC
|
Benda
Kerep - merupakan
salah satu kawasan yang berada di ujung selatan Kota Cirebon. Daerahnya masih
rimbun, pohon-pohon besar tampak menjulang kokoh. Masyarakatnya ramah, dan
memegang teguh amanat leluhur dan ajaran Islam. Jangan heran jika kita
berkunjung ke Benda Kerep, tidak akan menemukan televisi di dalam rumah.
Kemudian, di sana juga tidak mengenakan pengeras suara untuk kegiatan apa pun
termasuk pengajian ataupun azan salat.
“Kalau tidak ada TV di
Benda, itu bukan tradisi. Kemudian, di sini tidak mengenakan pengeras suara,
itu juga bukan tradisi. Karena sejak dulunya, juga tidak ada. Sesuatu yang
tidak ada kemudian dibuat ada, itu baru disebut tradisi. Kalau sesuatu yang
awalnya tidak ada, lalu tetap tidak ada ya bukan tradisi. Yang tradisi itu yang
awalnya tidak ada kemudian ada. Jadi di Benda itu bukan orang tradisional,
kalau dipandang tradisional itu salah. Tidak ada tradisi di Benda,” tutur salah
seorang tokoh masyarakat Benda Kerep, Kiai Muh. Ibnu Ma’isy kepada KC, Minggu
(18/9/2016).
Kehidupan masyarakat
Benda Kerep sangat kental dengan nuansa islami. Kini jumlah masyarakat di sana
mencapai 2.000 jiwa. Bicara tentang Benda Kerep tentu tidak lepas dari kiprah
Kiai Soleh.
Kiai sepuh, demikian
sebutan Mbah Soleh tempo dulu. Beliau lahir di Sindanglaut abad 17. Pada Rabu,
(14/9/2016) atau 12 Dzulhijah 1437 H merupakan Haul ke-130 Benda Kerep. Haul
itu diambil dari hari wafatnya Mbah Soleh pada tanggal 12 Dzulhijah 1307 H.
Kiai Ibnu Ma’isy yang
merupakan cicit Mbah Soleh menceritakan, dulu Benda Kerep merupakan alas atau
hutan liar yang dikenal angker. Namanya Hutan Cimeweuh yang berarti hutang
hilang. Saking ankernya, siapa pun orang yang masuk ke Cimeweuh akan hilang. Karena
itu, tidak ada yang berani masuk alas Cimeweuh yang luasnya mencapai 30
hektare. Hanya hewan buas yang bertahan hidup di sana.
Jika dilihat dari letak
geografis, Cimeweuh merupakan sebuah lembah legok yang dikelilingi gunung
layaknya Kota Makkah. Pada awal abad 18, Mbah Soleh mendapat tugas dari gurunya
Kiai Anwaruddin Kriyan, yang juga kakak iparnya untuk babat alas. Atas perintah
itu, Mbak Soleh pun melakuakn babat alas dan mulai tinggal di hutan itu.
Sebelumya, Mbah Soleh sempat singgah di Gegunung Sumber karena menunggu proses
serah terima wakaf dengan pihak keraton.
“Cimeweuh terkenal
angker karena banyak mitos yang berkembang di masyarakat. Namun, Kanjeng Sunan
pernah menyatakan senang dengan kawasan hutan tersebut. Kemudian, tidak sedikit
yang ingin memiliki kawasan itu. Namun, di sisi lain, Cimeweuh terkenal
angker,” papar Kiai Maiz yang merupakan putra KH Hasan, sesepuh Benda Kerep.
Kemudian, atas
permintaan Kiai Anwaruddin Krian, Mbah Soleh pun melakukan babad alas.
Sebelumnya, Kiai Soleh melakukan riadoh selama sembilan tahun. Konon, tiga
tahun untuk wilayah yang akan dihuninya, tiga tahun bagi zuriahnya (keturunan)
dan tiga tahun bagi umat Islam.
Babad alas dimulai
bersama sejumlah para wali. Mbah Soleh mengendalikan semua kegiatannya dari hutan,
membangun komunikasi, menjalin silaturahmi, membangun kebersamaan dengan para
ulama di seluruh Jawa. Berkat ikhtiarnya itu, Mbah Soleh beserta para ulama
berhasil mengakhiri masa-masa tiarap dari tekanan Belanda.
Maka dengan serentak
salat jamaah di setiap masjid dapat kembali dilakukan di seluruh Jawa setelah
sebelumnya dilarang pemerintah Belanda. Kemudian, Cimeweuh diganti Benda Kerep
artinya kaya potensi dan subur.
Haul ke-130 Benda Kerep
pada Rabu (14/9/2016) dilaksanakan tiga hari diisi dengan tahlil. Ribuan orang
dari berbagai daerah berkunjung ke Benda Kerep mengikuti kegiatan tersebut.
Kini, Benda Kerep menjadi kawasan dengan penduduk yang cukup banyak. Mereka
yang tinggal di Benda merupakan generasi ketiga dan keempat dari Mbah Soleh,
Kiai Anwaruddin Krian dan para kiai lainnya yang ikut melakukan babat alas.***
Info: kabar-cirebon.com
Tidak ada komentar: