
AKHIRNYA kesampaian juga bermain salju
tebal sebagaimana yang selalu dibayangkan dalam film maupun cerita dongeng.
Akhir Desember lalu, kami beramai-ramai dua keluarga berkesempatan berlibur
keliling Jepang selama dua minggu, melewati Natal dan tahun baru, 23 Desember
2014–5 Januari.
Kami mulai petualangan dari Osaka, Kobe, Kyoto, Takayama,
Shirakawago, Gokayama, Gunung Fuji, dan terakhir keliling Tokyo. Kami di sana
dihadang cuaca yang sangat dingin, sekitar 8 derajat Celsius hingga minus 5
derajat Celsius. Namun, semua sebanding dengan pemandangan musim dingin yang
kami dapatkan.
Memasuki kota tua Takayama yang bersalju tebal, hati kami
sangat senang. Apalagi saat ke desa tua Shirakawago. Kami serasa berada dalam
dunia dongeng. Bangunan rumah berasal dari kayu balok yang kukuh, beratap
jerami, dan semua tertutup salju tebal.
Daerah itu memang world heritage yang keasliannya dan
kebersihannya hingga sekarang masih terjaga. Termasuk rumah kincir air yang
masih berfungsi.
Lantaran ryokan (guest house ala Jepang) di tempat itu
sudah penuh, kami menginap di desa kecil Gokayama yang jaraknya 1 jam naik bus
dari Shirakawago. Ternyata, kami malah beruntung. Sebab, Desa Gokayama lebih
sunyi dan saljunya lebih tebal. Kami pun bisa berseluncur bermain salju
sepuasnya.
Berbekal peta dan JR Pass (tiket pass khusus turis untuk
naik kereta cepat dan biasa), kami bisa berjalan-jalan ala backpacker dengan
naik kereta dan bus. Semua petunjuk jalan di Jepang menggunakan huruf kanji dan
berbahasa Jepang. Karena itu, kami harus sering-sering bertanya ke petugas
kereta dan loket informasi agar tidak tersesat.
Penduduk Jepang memang ramah dalam memberikan petunjuk.
Namun, mereka kadang-kadang kesulitan berbahasa Inggris. Hasilnya, dalam
berkomunikasi, kami menggunakan bahasa Inggris campur bahasa Jepang dan bahasa
Tarzan.
Terdapat banyak kuil di Kyoto. Antara lain, Kinkaku-ji
Temple (terkenal sebagai Golden Pavilion) dan Fushimi Inari Shrine. Jika ke
Jepang, belum lengkap rasanya bila tidak mengunjungi Gunung Fuji. Kami menginap
di dekat danau di kaki Gunung Fuji untuk mendapatkan sudut terbaik foto Gunung
Fuji.
Ketika malam tahun baru, kami sengaja menjadwalkannya di
Tokyo. Orang Jepang ternyata tidak hura-hura dalam merayakan pergantian tahun.
Sebaliknya, mereka pergi berdoa dan melakukan ritual khusus di kuil.
Meski Tokyo kota metropolitan, masih saja dijumpai
stasiun kereta api yang tidak dilengkapi eskalator maupun lift. Namun, kadang
yang ada hanya disediakan untuk naik, sedangkan yang turun tidak ada. Kami pun
terpaksa mengangkat koper naik dan turun tangga di beberapa stasiun.
Hal paling mengesankan adalah saat kami tinggal di
ryokan. Rasanya asli Jepang. Tidur menggunakan tatami dan futon yang
berjajar-jajar di lantai dengan dilengkapi penghangat ruangan. Meja di tengah
ruangan dilengkapi penghangat kaki di bagian bawah. Kami juga mandi ala Jepang
di onsen (pemandian air panas ala Jepang) dan mengikuti tata cara mandi di
onsen yang sudah baku.
Sebelum masuk onsen, orang harus mandi bersih lebih dulu.
Setelah itu, pengunjung baru boleh masuk onsen yang berupa bak mandi besar yang
digunakan berendam beramai-ramai. Ada onsen khusus laki-laki dan perempuan.
Tetapi, di beberapa tempat, ada juga yang digunakan secara bersama-sama.
Menginap di ryokan terasa bagai bangsawan yang dilayani.
Saat pulang bermain salju, sang pemilik ryokan sudah membakar ikan dan
menyiapkan makan malam yang sangat lengkap. Begitu juga ketika bangun tidur.
Sarapan telah tersedia dengan lengkap. Di lain kesempatan, saya ingin
bermalas-malasan di ryokan selama seminggu, hahaha. Tetapi, biaya tinggal di
ryokan mahal karena full service. (c15/c14/dos)
Info: Jpnn.Com
Tidak ada komentar: