Krupuk Mlarat, Cemilan Khas Cirebon

Editing by - Amiz

SIAPA yang tak kenal dengan krupuk melarat (krupuk miskin,-red). Kerupuk satu ini merupakan salah satu makanan ringan khas Cirebon. Rasanya manis-manis gurih, bahkan, kini muncul varian baru sebagai alternatif yang bisa dipilih yakni rasa pedas. Selain dikonsumsi tunggal, kerupuk warna-warni ini kerap pula dijadikan pelengkap dalam makanan lain seperti rujak kangkung/rujak kucur.

Bahan dasar krupuk ini berupa tepung tapioka yang cukup dicampurkan garam dan diberi air panas kemudian di adon. Setelah berpentuk adonan, kemudian dikukus dan dibentuk menjadi bagian-bagian persegi panjang pipih dengan alat sederhana yang dimilikinya.

Setelah di kuskus barulah diberi pewarna makanan seperti merah, kuning dan putih, kemudian dijemur di tengah terik matahari selama sekitar lima jam. Setelah di jemur di atas ayaman bambu atau di atas terpal plastik. Barulah mulai pemotongan dengan ukuran persegi panjang dan dijemur kembali kemudian di masukan kedalam kantong-kantong besar untuk dijual.

“Kalau mendung, proses jemur bisa lebih lama. Dan itulah kendala dalam pembuatan krupuk melarat mas,” kata Mulus (37) pengusaha krupuk melarat di Desa Palir Blok Sipatan Kecamatan Tengahtani Kabupaten Cirebon, saat ditemui di pabrik yang cukup sederhana ini, Jumat (5/9).

Menurut Mulus, pabriknya dalam hal ini hanya memproduksi kerupuk mentah. Rupanya tidak semua pabrik pengolahan kerupuk melarat membuatnya siap konsumsi. Produk mentah itulah yang biasanya dijual untuk kemudian digoreng sendiri oleh pembelinya. Mulus menghargai Rp9.000 untuk satu kilogram kerupuk mentahnya itu.

“Untuk pembeli biasanya datang sendiri mas, ada yang dari Bandung, Subang, Kuningan, Majalengka dan tentunya pedagang dari Cirebon,” kata Mulus.

Dalam sehari, kata Mulus, pabriknya memproduksi sekitar 2,5 kuintal kerupuk mentah. Walaupun banyak permintaan Mulus tetap memproduksinya 2,5 kuintal. Untuk memproduksinya, Mulus memperkerjakan 7 orang pekerja untuk mengolah adonan, mengukus, nyetak, jemur dan pemotongan.

“Setiap hari saya buat segitu (2,5 kuintal), karena kemampuan 7 orang pekerja untuk sehari ya segitu, kalau mau lebih ya harus tambah tenaga kerja dan alat lainya,” katanya.

Untuk tepung tapioca dalam setiap minggunya selalu dipasok dari toko besar di Kota Cirebon. Harganya sendiri untuk saat ini dalam 1 kuintal Rp500-Rp600 ribu. Dan setelah di proses menjadi krupuk mentah dalam 1 kuintal menjadi 1,6 kuintal krupuk kering.

“Ya untuk omzet perhari kotornya sekitar Rp2.250 ribu, itu belum untuk bayar pekerja, makan dan modal pembelian tepung mas, ya pokonya lumayan mas,” jelasnya.

Lebih lanjut Mulus menjelaskan, untuk perwarna sendiri dia menjamin, warna itu didapat dari pewarna makanan yang dicampurkan dalam adonan.

Meski terhitung mahal, mereka tetap menggunakannya. Warna-warni yang pudar pada kerupuk melarat yang diproduksinya merupakan pengaruh dari penggunaan pewarna makanan.

Dia mengakui, ada kemungkinan penggunaan pewarna tekstil pada krupuk melarat. Apalagi jika warnanya cenderung terang. Nah, bila menemui semacam itu layak dicurigai telah menggunakan bahan pewarna tektil.

“Sebenarnya sih inginnya bikin yang putih saja, karena pewarna makanannya mahal. Tapi nggak sedikit yang minta warna-warni, makanya tetap kami buat,” ungkap dia.

Dia menambkan, kerupuk melarat sebelumnya bukan termasuk makanan yang dilirik orang banyak, termasuk wisatawan. Namun, sejak sepuluh tahun terakhir kerupuk ini kemudian laris diburu, terutama sebagai oleh-oleh khas Cirebon. (Enon/CNC)

Tidak ada komentar: